Hasil FOMC (Federal Open Market Committee) meetings pada bulan January 2022, menjadi pertimbangan utama investor global. The Fed dengan jelas menyatakan kesiapannya untuk menaikkan suku bunga pada bulan Maret 2022. Merespon hal itu, investor menafsirkan bahwa The Fed yang semakin hawkish (sikap kebijakan yang bersifat mengetatkan), adalah bukti bahwa The Fed telah meyakini struktur perekonomian U.S. yang solid. Hal ini tercermin dari data inflasi dan pengangguran. Keduanya memiliki hubungan. Pengangguran yang makin rendah telah mendorong kenaikan inflasi. Data GDP (Gross Domestic Product) pada 4Q21 di U.S. yang baru-baru ini dirilis, tumbuh sebesar 6,9% (QoQ). Data ini, juga mengonfirmasi hubungan antara pertumbuhan dan inflasi. Pertumbuhan yang tinggi akan diikuti oleh kenaikan inflasi. Kondisi ekonomi yang solid, akan menjadikan perekonomian U.S. semakin kokoh terhadap berbagai guncangan. Pandangan tersebut menumbuhkan keyakinan bahwa The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga. Proyeksi kenaikan suku bunga pun berbeda-beda antar ekonom, mulai dari 3 kali, 4 kali, 5 kali, bahkan hingga 7 kali kenaikan suku bunga selama tahun 2022. Namun, yang terpenting dari kenaikan tersebut adalah besarnya kenaikan suku bunga setiap kali The Fed menaikkan suku bunga.

Sinyal The Fed yang makin hawkish merefleksikan berbagai kemungkinan. Pertama, The Fed dan investor mungkin dihadapkan dengan informasi yang sama sehingga The Fed ingin memperketat kebijakan moneter. Ini sejalan dengan ekspektasi investor di pasar. Kedua, komunikasi The Fed yang semakin hawkish bertujuan untuk memicu reaksi pasar. Reaksi pasar yang diharapkan The Fed dapat mendorong pengetatan kondisi keuangan di pasar dan akhirnya tekanan inflasi dapat berkurang. Implikasi dari dua kemungkinan di atas sangat berbeda. Jika kemungkinan pertama terjadi, maka akan terjadi kenaikan suku bunga yang agresif di tahun 2022. Sedangkan jika terjadi pengetatan kondisi keuangan di pasar, sebagai akibat dari reaksi investor atas komunikasi yang hawkish maka The Fed tidak perlu menaikkan suku bunga sebanyak kondisi saat ini. Pengetatan kondisi keuangan di pasar akan mempercepat transmisi kebijakan moneter The Fed.

Merespon komunikasi The Fed yang akhir-akhir ini semakin hawkish, Bank Sentral Indonesia (Bank Indonesia) bersiap untuk mengantisipasi risiko eksternal yang mungkin timbul. Tingginya likuiditas di pasar, menyebabkan BI (Bank Indonesia) menaikkan GWM (Giro Wajib Minimum) secara bertahap. Kenaikan GWM akan mulai diimplementasikan pada tanggal 01 Maret 2022. Dalam melakukan normalisasi kebijakan likuiditas, BI juga akan tetap memastikan kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit. BI juga terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar, melalui efektivitas operasi dan ketersediaan likuiditas di pasar. Data inflasi bulan Januari, juga masih berada di bawah target BI. Berdasarkan data yang dirilis pada tanggal 02 Februari 2022, CPI (consumer price index) Indonesia pada bulan Januari 2022 tumbuh sebesar 2,2% (YoY) dan CPI core sebesar 1,8% (YoY). Meskipun data inflasi masih berada di bawah target, namun indikator ekonomi Indonesia mengindikasikan akselerasi proses pemulihan, antara lain keyakinan konsumen dan mobilitas masyarakat yang akan kembali akan memicu konsumsi.

Mencermati data ekonomi, maka kemungkinan pasar keuangan Indonesia relatif resilient. Selama bulan Januari 2022, indeks harga saham gabungan rata-rata bergerak pada level 6.650, dengan level tertinggi berada pada 6.726, dan level terendah 6.532. Selama bulan Januari 2022, investor asing membukukan net buy sebesar USD425,4 juta pada ekuitas sedangkan pada pasar obligasi mencatatkan net sell sebesar USD283,55 juta. Secara umum, aktivitas transaksi di pasar Indonesia masih cukup prospektif guna mendapatkan return yang optimal. Volatilitas yang terjadi di pasar selama sebulan terakhir, merupakan bentuk adjustment yang dilakukan investor terhadap kenaikan treasury yield di U.S.